Universitas Jember telah mengedarkan calon mahasiswa baru yang telah diterima melalui jalur PMDK. Mereka telah datang, menegaskan bahwa siap menjadi mahasiswa Unej. Saya, mahasiswa Hubungan Internasional yang pada empat tahun lalu juga menegaskan kepada kampus ini bahwa saya siap menjadi mahasiswa-mu. Hai kawan, selamat datang di Kampus. Ketika mengikuti PK2 (Pengenalan Kehidupan Kampus), kakak-kakak tingkat yang pandai berbicara di depan kami menyebut kampus ini sebagai kampus perjuangan. Sungguh menggidik namanya. Deg-deg-ser saya rasakan ketika itu, demonstrasi yang sedang saya bayangkan waktu itu. Di televisi, saya melihat mereka yang hebat dalam bersuara selalu menyebutkan kampus perjuangan. Atau setidaknya, kampus perjuangan tertulis sombong dalam kain-kain yang mereka bawa. Kawan, saya bukan orang yang pandai berbicara di depan kalian, tapi saya ingin mengucapkan Selamat Datang di Kampus Universitas Jember.
“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya lakukan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi ‘manusia-manusia yang biasa’. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia. Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman se-ideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan menjadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi”
Kawan, kalian tahu darimana saya mengutipnya. Gie, Soe Hok Gie yang mengatakan itu semua. Dan saya pernah memikirkannya, dan saya ingin kalian memikirkannya juga. Saya merasakan kekaguman kepada mereka yang oleh Gie disebut mahasiswa semacam tadi. Dan saya juga kagum kepada mereka yang oleh Gie disebut “manusia-manusia yang biasa”. Mereka lah yang menyatakan sikap; saya akan mementingkan golongan saya, atau saya mau menjadi manusia yang biasa. Dan tahu kah kalian kawan-kawan baruku? Kalian akan melewati masa-masa itu, sesaat lagi. Dalam waktu dekat yang tidak akan pernah kalian sangka-sangka, ternyata benar-benar sebentar lagi.
Ketika kalian sudah menegaskan sikap kalian (registrasi, red), anak kampus sudah kalian sandang. Indah bukan? Tidak ada seragam. Tidak ada jadwal terikat. Tidak ada upacara. Yang jauh lebih keren lagi kalian menyandang agents of change. Jauh lebih indah lagi kan? Berbahasa inggris pula. Saya ingin memperlihatkan teman-teman yang saya anggap hebat (versi saya). Bisa kalian adopsi, jika kalian mau. Yang pertama, dia seorang kutu buku yang hebat. Dia masih ingat kapan perang dunia terjadi dan kapan berakhir. Di dalam ingatannya, tertanam benar angka-angka tahun yang dianggap penting dalam jurusan saya. Nama presiden ini, presiden itu, presiden sana, presiden sini. Kami menyebutnya ensiklopedia, encharta. Dan saya anggap dia hebat.
Ketika mengingat semuanya adalah hebat, maka teman saya yang kedua ini tidak sehebat teman saya yang pertama. Dia pandai berbicara di depan kelas. Dia seorang organisator. Bahkan dia sukses memenangkan pemilu kampus. Tapi dia sering terlambat ke kelas, tapi tetap saja pandai berbicara di kelas. Kawan, masih hebat juga kan teman saya yang kedua. Teman saya yang ketiga sama hebatnya dengan yang kedua. Dia selalu menyebutkan nama-nama tokoh dalam berargumen. Dia pandai mengutip argumen dari tokoh yang asing bagi kami. Dia mengeluarkan banyak istilah yang hanya dia dan dosen yang tahu. Hebat bukan?
Ketika pandai berbicara di depan kelas adalah hebat, maka teman saya yang keempat ini tidak sehebat teman saya yang kedua. Dia rajin kawan, dan aku selalu meminjam catatan kuliah kepada teman saya ini. Kalian tahu, dia selalu sukses membuat catatannya nangkring di tempat foto kopi. Dan menjelang UTS dan UAS, dia akan menjadi target operasi kami: mahasiswa pencari catatan. Dan dia sendiri? Dia begitu santai ketika UTS atau UAS. Santai dan pasti. IPK-nya tinggi kawan. Hebat juga bukan?
Jika menjadi rajin mencatat adalah hebat, sungguh teman saya yang kelima ini jauh dari hebat. Setiap ke kampus, saya jarang mendapatinya membawa tas. Kalau tidak salah, hanya satu buku yang selalu ia bawa. Bahkan ketika saya pinjam, tak ada lima baris catatan yang ia buat. Bahkan, tak jarang saya temui hanya judul pembahasan yang ia tulis. Tapi, tahu kah kalian kawan? Ia pandai menulis. Ia seorang yang ulung dalam merangkai kata, kalimat, paragraf, dan logika berpikir yang indah, dan kutipan dari tokoh-tokoh yang asing di telinga saya. Dia benar-benar pandai menulis kawan.
Kawan-kawan baru-ku, hebat-hebat semua kan teman-teman saya? Bagaimana dengan saya? Saya tidak seperti kelima kawan di atas. Saya lupa kapan perang dunia dimulai dan berakhir, siapa yang menang dan siapa yang kalah. Saya tidak tahu Presiden Costa Rica, Kroasia, atau pu Republik Dominika. Bahkan wakil presiden AS pun lepas dari memori saya. Yang saya ingat hanya hari kemerdekaan Indonesia. Yang saya ingat hanya Presiden AS. Saya juga bukan seorang organisator ulung. Saya hanya pernah bergelut di UKM Universitas. Saya tidak pernah mengadopsi argumen dari tokoh-tokoh yang terdengar aneh. Dan saya tidak pandai beragumen di depan kelas. Bisa dihitung berapa kali saya aktif di kelas, dan kebanyakan hanya dalam diskusi. Saya ingin rajin mencatat, tapi gagal. Hanya beberapa kali saja catatan saya hilang di tempat foto kopi. Tulisan saya juga tidak terlalu hebat. Seperti yang sedang kalian baca: kata, kalimat, paragraf tidak teratur rapi. Dan saya cuma bisa mengutip apa yang dikatakan Gie.
Selamat datang di kampus Univesitas Jember. Selamat bereksperimen dengan kehendak dan realita yang kalian temukan di kampus ini. Selamat menanti hasil dari eksperimen yang tak akan pernah berkesudahan. Sekali lagi, saya hanya mampu menghadirkan tulisan Gie (bukan karena kefanatikan saya padanya, hanya dia yang bisa aku hadirkan dalam tulisan ini):
“Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas atau golongan apapun.”